Sepucuk Pesan

Sepucuk Pesan
Karya Ersaja

Hari itu merupakan hari yang cukup lelah bagi Pak Hadi. Meski kegiatan belajar-mengajar masih dilakukan secara daring, ia terpaksa tetap pergi ke sekolah tempat ia mengajar karena harus mengambil beberapa dokumen. Namun karena sekolah yang sepi terlepas dari beberapa petugas kebersihan dan satpam yang berjaga, Pak Hadi memutuskan untuk menyelesaikan tugasnya di sekolah. Menyalin materi dan menyusunnya di laptop untuk bekal mengajar minggu-minggu selanjutnya. Di usia senjanya, berusaha mengikuti perkembangan teknologi saat wabah corona menyerang serasa bagai tantangan yang lebih rumit dari rumus matematika yang dibenci murid-muridnya. Namun sebagai seorang guru, sudah menjadi kewajibannya untuk tetap bisa memberikan ilmu pada anak-anak didiknya.

Saat ia selesai, senja telah menyapa di ujung barat, menghiasi langit dengan warna merah temaram yang membasuh seluruh dinding ruangan tempatnya berada. Tangannya berusaha memijat pangkal hidungnya yang perih karena memakai kacamata terlalu lama sambil merenggangkan badannya sejenak. Setelah itu barulah Pak Hadi mengemasi barang-barangnya dan berjalan ke arah parkiran tempat mobilnya berada.

Mata Pak Hadi sudah terasa sangat berat ketika ia baru separuh jalan menuju rumah. Ia sempat berpikir untuk minggir sejenak karena sadar bahayanya menyetir dalam kondisi ngantuk. Namun jarak rumah yang tinggal sedikit lagi dan kasur yang menunggu di rumah terlalu menggoda untuk membuatnya berhenti.

Pak Hadi berkali-kali menguap di balik maskernya. Berusaha mengusir lelah, namun pikirannya kalah terlebih dahulu. Ia menggerakkan mobilnya ke arah rumah berbekal memori dibandingkan karena ia sadar dimana posisinya sekarang. Namun rasa kantuknya dengan cepat menghilang ketika tiba-tiba suara peluit yang nyaring terdengar dari jalan di depannya.

Seorang polisi yang bertugas segera menghadang mobil Pak Hadi dan menggiringnya untuk berhenti di sisi jalan. Pak Hadi sejenak bingung dan segera berusaha mengingat-ingat apakah ia membawa SIM dan STNK atau tidak. Ia juga tidak merasa melebihi batas kecepatan sehingga seharusnya tak ada alasan bagi polisi itu untuk menghentikannya. Rasa curiga kalau-kalau polisi itu adalah oknum nakal yang suka melakukan razia palsu muncul di kepala Pak Hadi.

“Selamat siang Pak. Maaf, tapi ini jalan satu arah Pak. Mobil Bapak melawan arus.” Polisi yang sama menunjuk ke arah papan tanda jalan satu arah di perempatan tak jauh dari tempat Hadi berhenti.

Sontak Pak Hadi berbalik dan menyipitkan matanya, berusaha melihat tanda yang ditunjuk polisi itu. “Ya Allah!” Pak Hadi menepuk jidatnya begitu sadar bahwa ia berbelok di jalan yang salah. “Iya Pak. Saya nggak sadar ada tanda itu.” Pak Hadi dengan malu mengakui kesalahannya.

“Bisa saya periksa SIM dan STNKnya?” Tanya Si Polisi dengan maklum.

Pak Hadi mengangguk dan menyerahkan surat-surat itu dari dompet. Ketika si polisi melihat surat-surat miliknya, Pak Hadi dapat melihat bagaimana kilat di mata polisi itu terlihat terkejut sebelum mengangkat kepalanya dan menatap Pak Hadi lekat-lekat. Lalu dalam hitungan detik, polisi muda itu segera meraih tangan Pak Hadi dan mencium tangannya.

“Ya Allah, Pak Hadi! Nggak nyangka saya bisa ketemu Bapak lagi!” Seru polisi itu sambil memeluknya.

Pak Hadi hanya terpatung karena bingung. Dalam kepalanya ia bertanya-tanya siapa gerangan polisi itu. Meski masih tidak paham atas apa yang terjadi, tangannya dengan ragu dirangkulkan ke polisi itu sambil menepuk-nepuk punggungnya pelan.

“Maaf, ananda ini siapa ya? Saya tidak ingat.” Tanyanya dengan jujur ketika si polisi melepaskan pelukannya.

Si polisi terkekeh sejenak sebelum menjawab, “ya jelas tidak ingat, Pak. Saya kan terakhir ketemu bapak ketika masih kecil. Saya Reza Pak. Dulu sekolah di SMPN 1 MANDALA.”

“Oalah, kamu pernah saya ajar ya?” Pak Hadi tersenyum pada polisi itu meski sejujurnya ia masih tidak mengingatnya. Mengajar selama bertahun-tahun membuat ingatannya terhadap setiap murid semakin kabur dari waktu ke waktu meski ia berusaha untuk tetap mengingat nama murid-muridnya.

Polisi itu nampaknya menyadari hal ini dan segera merogoh dompetnya, mengeluarkan selembar kertas yang sudah usang. Kertas itu tampaknya sudah dilipat dan dibuka lagi berkali-kali hingga beberapa garis lipatannya sobek dan ditempelkan ulang menggunakan selotip. Diserahkannya kertas itu kepada Pak Hadi sambil tersenyum.

“Dulu Bapak yang memberikan saya pesan ini. Saya simpan sampai sekarang untuk terus mengigatkan saya selama ini.” Jelasnya.

Mata Pak Hadi yang telah rabun berusaha membaca tulisan yang ada di kertas itu. Tidak salah lagi, goresan tinta di kertas itu adalah tulisan tangannya sendiri. Perlahan ia menyusuri kata demi kata yang tertulis.

Ilmu memang penting, Tapi adab jauh lebih utama.
Ilmu bisa terus dicari sampai tua.
Tetapi tingkah laku yang baik harus ditanam sejak muda.

Kata-kata yang tertulis di kertas itu sederhana. Namun itu cukup untuk memompa sebuah memori lama yang tersimpan dalam otaknya yang sudah tua.

“Reza… Reza…” Ia gumamkan nama si polisi ketika akhirnya sesosok wajah anak laki-laki yang terakhir ia temui sepuluh tahun yang lalu.

***

Menjadi guru di Sekolah Menengah Pertama bukanlah hal yang mudah. Murid-muridnya tak lagi sepenurut anak SD, namun masih sering bertingkah usil dan belum sedewasa anak SMA. Pak Hadi paham betul hal tersebut. Namun itu juga yang merupakan keistimewaan menjadi guru SMP. Sebuah tanggungan untuk melihat bagaimana jiwa-jiwa muda tumbuh.

Hari itu Pak hadi sedang memeriksalembar ulangan murid murid kelas IX C. Ketika ia memeriksa salah satu lembar jawaban muridnya, ia menyadari bahwa ada muridnya yang hanya berhasil menjawab tujuh dari dua puluh soal dengan benar. Mata Pak Hadi pun segera tertuju pada si pemilik lembar jawaban. Reza. Nama yang tak asing lagi baginya sosoknya yang langganan muncul di ulangan remedial. Pak Hadi kemudian menyisihkan lembar jawaban Reza bersama dengan murid-murid lain yang harus mengulang dan menyelesaikan pekerjaannya hingga bel masuk berbunyi. Iapun berangkat menuju kelas IX C dengan membawa hasil ulangan murid-muridnya.

“Hasil ulangan dua hari lalu sudah Bapak periksa. Bagi yang namanya dipanggil, maju ke depan dan ambil hasil ulangan kalian.” Ucapan Pak Hadi ditanggapi dengan berbagai gerutuan kecil dari murid-muridnya. Di setiap nama yang dipanggil, reaksi tiap murid berbeda-beda. Ada yang senang, ada yang kaget dengan nilainya sendiri, ada yang cengengesan karena nilainya rendah dan… ketika murid bernama Reza itu melihat nilai ulangannya, ia hanya menghela napas panjang sebelum kembali ke bangkunya dengan gontai.

“Gimana?” Tanya seorang murid lain pada Reza dengan suara pelan. Reza hanya memberikan senyum lirih dan menggelengkan kepalanya pelan. Setelah itu, selama di kelas, Pak Hadi dapat melihat bagaimana Reza seakan menghilang dari ruang kelas dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Materi yang ia sampaikan tak sedikitpun menarik perhatian muridnya itu.

Di mata Pak Hadi sendiri, Reza bukanlah murid yang bermasalah. Ia bahkan cukup terkenal karena merupakan murid yang sangat ramah dan aktif di berbagai kegiatan yang diadakan sekolah. Ia juga selalu memperhatikan gurunya ketika di kelas, dan merupakan salah satu pengurus OSIS di sekolah. Hanya saja di bidang akademis ia memang lebih lambat menerima materi dibandingkan dengan murid yang lain sehingga nilainya sering di bawah rata-rata kelas.

Tetapi belakangan ini, ia menjadi lebih pasif di kelas dan sering terlihat melamun selama jam pelajaran. Pak Hadi pun menjadi khawatir akan muridnya itu dan memutuskan untuk mencari waktu untuk menanyakan hal itu pada Reza.

***

Kesempatan untuk berbicara dengan Reza ternyata datang lebih cepat daripada yang ia sangka.

Ketika bel pulang telah berbunyi, murid-murid dengan semangat memasukkan buku mereka dan segera berlarian setelah mencium tangannya dan mengucapkan salam. Wajah mereka terlihat sumringah, berbanding terbalik dengan muka mengantuk yang menghiasi kelas selama jam pelajaran tadi.

Pak Hadi sediri segera berjalan kembali ke ruang guru untuk merapikan barang-barangnya dan meninjau kembali hasil mengajarnya hari itu. Ia tetap bekerja di mejanya meski satu persatu guru-guru yang lain pulang. Ia berharap dapat pulang ke rumah tanpa dihantui pekerjaan, sehingga memutuskan menyelesaikan semua kerjaannya sebelum pulang.

Saat itulah, Mata Pak Hadi yang awalnya berfokus pada buku catatannya, terusik oleh sebuah siluet di jendela yang terhubung dengan taman belakang sekolah. Seragam putih dengan dasi biru dari sosok di balik jendela itu menjadi pertanda bahwa sosok yang ia lihat adalah seorang murid. Pak Hadi mengerutkan alisnya dan memeriksa jam yang terpasang di dinding. Setengah lima sore.

Pak Hadi menghela napas panjang sebelum bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke taman belakang, siap menegur si murid yang melanggar peraturan. Meski sudah sering diingatkan bahwa para murid harus pulang maksimal jam empat sore, kadang masih ada saja anak-anak nakal yang bersembunyi dan tetap nongkrong di sekolah, entah apa alasannya.

Namun alangkah terkejutnya Pak Hadi ketika yang ia temukan bukanlah murid-murid yang asyik mengobrol atau makan jajanan dari kantin, melainkan seorang anak laki-laki sangat ia kenal, tersungkur di pojok dinding dengan selembar kertas di tangannya.

“Nak Reza?” Panggil Pak Hadi pada sosok itu.

Reza terperanjat dengan keberadaan Pak Hadi dan segera berdiri dari tempatnya duduk. “Eh, Pak Hadi…” Reza yang gugup dengan cepat memasukkan kertas di tangannya ke dalam tas. Meski hanya sekilas, Pak Hadi tahu bahwa kertas itu adalah lembar ulangannya siang tadi.

“Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu masih di sekolah?” Tanya Pak Hadi dengan nada tegas.

“Maaf Pak… Keasyikan di ruang OSIS tadi.” Jawabnya gelagapan. Ada jeda sejenak diantara keduanya sebelum Reza menambahkan, “Kalau gitu saya pamit pulang sekarang ya Pak?”

“Nak, sebentar.” Pak Hadi menepuk bahu muridnya itu sebelum ia sempat angkat kaki. “Bapak lihat kamu belakangan ini sering tidak fokus di kelas. Padahal biasanya kamu rajin bertanya. Kamu ada masalah?”

Reza tidak langsung menjawabnya dan hanya tertunduk diam. “Kalau kamu ada masalah, ada kesulitan sama pelajaran atau yang lain, kamu bisa cerita ke Bapak. Bapak sedih kalau lihat murid Bapak mukanya cemberut terus di kelas.” Tambah Pak Hadi. Ucapannya itu nampaknya membuat Reza sedikit lebih tenang. Ia menatap Pak Hadi dengan amalgamasi emosi yang sulit terbaca. Takut? Khawatir? Malu? Berharap? Ekspresinya terlalu rumit untuk masuk ke dalam satu kategori.

“Saya capek Pak! Padahal saya belajar tiap hari, tapi tetep aja saya nggak paham sama materi. Temen-temen ngatain saya bodoh dan kebanyakan gaya ikut ini itu tapi nilai merah semua!” Reza meluapkan emosinya sambil mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih.

“Tidak ada murid yang bodoh. Yang ada hanya murid yang kemampuan belajarnya cepat dan tidak. Namanya juga pelajar. Ya kalian memang dalam tahap belajar. Kalau semua materi langsung bisa, ngapain kamu sekolah? Bapak yang sudah jadi guru saja masih harus belajar lagi sebelum mengajar.” Pak Hadi tersenyum lembut pada muridnya itu. “Kamu jangan merasa minder hanya karena nilai. Nilai memang penting, tapi bukan yang paling penting. Itu Cuma angka. Sekarang Bapak tanya… Memang kamu sewaktu ulangan menyontek?”

Reza dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Enggak Pak. Saya nggak pernah nyontek. Kalau nyontek hasil ulangan saya nggak mungkin jelek terus kan Pak.”

“Pernah kamu bolos?”

Reza menggelengkan kepalanya lagi.

“Nah, lihat kan? Setahu Bapak kamu tidak pernah melakukan hal yang pantas membuat kamu malu. Bapak tahu kamu rajin bantu-bantu di OSIS. Kamu selalu sopan pada guru-guru. Bahkan Ibu Penjaga Kantin kenal kamu karena selalu menyapa dia setiap pagi. Terus apa yang membuat kamu malu? Sopan santun dan kerendahan hati itu jauh lebih penting.”

Reza tampak ingin protes, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya selagi wajahnya memerah menahan malu. Pujian mungkin bukan sesuatu yang sering ia terima sehingga ketika Pak Hadi berusaha menyebutkan kelebihannya, ia tampak kebingungan.

Pak Hadi kemudian menuliskan sesuatu di secarik kertas, kemudian menyerahkannya pada Reza. “Kamu baca baik-baik. Kamu resapi. Tanyakan ke dirimu sendiri, yang mana yang lebih penting.” Pak Hadi sekali lagi penepuk pundak muridnya .

Reza hanya menatap kertas pemberiannya lekat-lekat. Senyum kecil menghiasi wajahnya sebelum ia melipat kertas itu dan pamit untuk pulang.

***

Pak Hadi percaya akan kekuatan dari kata-kata. Ia percaya bahwa sedikit dorongan, dapat memberi perubahan besar. Itu salah satu hal yang ia pelajari selama menjadi guru. Murid-muridnya selalu memiliki pribadi yang berbeda dan menarik dalam berbagai hal. Namun banyak pula yang tersembunyi dan tenggelam dalam standarisasi yang terlalu kaku dari masyarakat.

Anak-anak seperti itu, menurut Pak Hadi membutuhkan sebuah pematik. Sedikit kata-kata dari sudut pandang berbeda, untuk membuat mereka sadar bahwa diri mereka sama hebatnya dengan orang-orang di sekitarnya.

Keesokan harinya, ketika Pak Hadi melihat Reza berjalan dengan terburu-buru di lorong sambil membawa tumpukan kotak bertuliskan ‘OSIS’, ia tahu bahwa kata-katanya telah menjadi pematik yang tepat untuk menyalakan kembali semangat muridnya.

***

“Kamu Nak Reza yang waktu itu ya?” Pak Hadi menatap polisi itu lagi. Kalau dilihat-lihat memang wajahnya mirip dengan murid yang ia kenal. “Masya Allah! Gagah sekali sekarang kamu nak!” Ucapnya sambil menepuk bahu Reza dengan bangga.

“Alhamdulillah Pak. Ini semua berkat Bapak.” Jawab Reza sambil tersenyum sopan. “Saya terus ingat kata-kata Bapak waktu itu. Setelah lulus sekolah, saya mengabdi jadi relawan dan salah satu aktivis senior di sana menawarkan untuk membiayai saya sekolah kepolisian.” Pak Hadi mendengarkan cerita Reza dengan antusias.

“Bapak benar. Nilai itu bukan segalanya. Bukan nilai yang membawa saya sampai seperti sekarang. Karena Bapak waktu itu mengingatkan saya, saya tetap ikhtiar dan berusaha membantu orang-orang sebanyak mungkin dengan apa yang saya bisa. Ternyata ketika saya membantu mereka, Allah memberi bantuan juga kepada saya sampai bisa jadi seperti sekarang.” Tambah muridnya itu.

Pak Hadi hanya dapat tersenyum haru melihat bagaimana anak didiknya yang kini sudah sukses masih mengingat pesannya kala itu. Ia peluk muridnya itu sekali lagi sembari berbisik. “Bapak bangga dengan kamu, nak.”

***

“Tapi Pak, biar saya pernah jadi murid Bapak, denda tilangnya tetap harus di bayar ya Pak.” Tambah Reza dengan cengiran di wajahnya.

“Iya, iya. Bapak kan guru kamu. Harus mencontohkan jadi warga yang taat aturan kan?” Pak Hadi terkekeh sambil mengikuti muridnya itu ke pos polisi di seberang jalan.

-SELESAI-

Diterbitkan oleh Kang Guru

Kang Guru

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai